Hidup Tanpa Kecemasan Akan Esok
At the first time I met him, I already knew that I wanna live the way he lives his life.
Kebetulan gue diamanahkan menjadi Project Manager pada salah satu program pengabdian yang akan dilakukan oleh komunitas gue. Setelah beberapa pertimbangan, kita putuskan untuk merealisasikan program tersebut di salah satu yayasan yang berlokasi di Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Sampai tiba lah hari dimana kita harus survey lokasi kesana.
Sepanjang perjalanan menuju yayasan, dalam radius 2 km jauhnya, udah bisa gue cium bau khas sampah. Gundukan sampah pun ikut jadi penghias perjalanan kami. Kepala gue pening banget, berasa mualnya, dan nyut-nyutan.
Gue sudah mendengar kabar bahwa 150-200 anak dengan rentang usia 6-15 tahun yang sering mampir disini masih buta huruf. Belum bisa membaca apapun, baik huruf maupun angka. Tapi kalau menyangkut duit, alhamdulillah udah ngerti.
Setelah touring lewatin jalan yang penuh sisi gelap Kota Bekasi, sampailah kita di yayasan. Yayasan tersebut didirikan oleh komunitas vespa yang mendedikasikan hidupnya untuk pembangunan masyarakat, khususnya anak-anak, disana. Yayasan tersebut dibangun tanpa tukang. Hanya bermodalkan solidaritas dan kemauan. Modalnya didapat mulai dari buka donasi, hingga menjual koleksi vespa teman komunitas. Sesampainya kita disana, kita langsung menemui sosok yang akrab dipanggil "Mamang".
Dari perawakannya, gue bisa tau bahwa Mamang ini masih relatif muda. Mungkin usianya sekitar 28-35 tahun. Mamang meminta maaf karena pada survey sebelumnya nggak bisa hadir, dan jadilah kita mendengarkan kisah dibalik ketidakhadirannya itu.
11 hari dihabiskan Mamang untuk melakukan perjalanan. Mampir di berbagai tempat, Cirebon, Sidoarjo, Nganjuk, Dieng, Subaraya, Bali, hingga NTB untuk bersilaturahim dan ziarah. Berkelana, tidur dimana saja yang kata Mamang sih hanya bermodalkan borgol. Untuk mengikat kaki dan motornya supaya nggak dibawa kabur orang pas tidur, katanya.
Saat sampai Sidoarjo, saat itu pula ternyata bekal perjalanannya habis. Tapi Mamang tetap lanjut, yang entah bagaimana bagi gue terlihat menyiratkan keimanannya yang kuat pada Sang Maha Kaya.
Setelah bertukar informasi tentang program kami, Mamang juga menceritakan bagaimana realitas kehidupan disana. Tentang bagaimana mindset orang tua disana yang sudah pesimis akan keajaiban pendidikan sehingga si anak sudah terdidik untuk memulung sejak dini. Tentang bagaimana musibah banjir Jakarta menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka, karena banyak alat elektronik rusak yang dibuang, sehingga besinya bisa mereka jual (lagi, bukan untuk diperbaiki, karena masih minimnya mindset akibat konstruksi sosial yang sudah mengakar).
Mamang juga bercerita tentang kebakaran hebat baru-baru ini yang membuat puluhan gubuk disana terbakar habis.
"Kebakarannya tuh gara-gara apa sih emang, Mang?"
"Disini listriknya masih nganga, kebuka. Listrik disuntik langsung ke tiang-tiang onoh. Jadi kalau gerimis-gerimis kecil dan hujan, emang gampang konslet. Udah manggil pemadam, tapi tau sendiri kan disini rumah dari terpal sama kayu. Begitu api nyala, langsung nyamber aja kemana-mana. Api mati yaa pas semuanya udah ludes. Udah nggak ada yang bisa dibakar lagi... Giliran api mati, baru dah, pemadam nyampe. Lahh..."
Mamang bilang, kebakaran tersebut memang sama sekali nggak memakan korban jiwa karena terjadi di siang hari, ketika orang-orang keluar untuk mulung. Mereka yang kehilangan rumah, kemudian mengungsi sementara di yayasan. Gue memberanikan diri untuk nanya ke Mamang, sekarang ini, gimana nasib tempat tinggal mereka.
"Yah neng, disini mah namanya juga rumah gubuk. Ya dibangun lagi, orang rumah aja 1-3 harian juga jadi. Kan timbang pakai kayu sama terpal. Walaupun harus keluarin uang-uang juga buat beli kayunya.."
Mamang lalu melanjutkan ke cerita-cerita berikutnya. Nggak bisa gue tuliskan semuanya, tapi melalui cerita tersebut, gue tau bahwa sosok Mamang ini, di setiap langkah perjalanan hidupnya selalu memaknainya dengan kesederhanaan dan menyertai aspek spiritualitas yang tinggi. Dari sosok Mamang, gue menyadari betapa kebahagaian hanyalah soal bagaimana perspektif kita dalam melihat tiap hal.
Bekasi, 26 Mei 2022
Komentar
Posting Komentar