Sekilas Tentang Green Theory
Sebagaimana namanya, lahirnya Green Theory berhubungan erat dengan lingkungan yang menyebabkannya memiliki karakter global. Dalam perkembangannya, isu lingkungan pertama kali muncul sebagai isu yang kontroversial melalui tulisan Rachel Carson pada 1960an yang berjudul Silent Spring. Tulisan ini mengangkat perkara kerusakan lingkungan yang terjadi akibat konsumsi pestisida sebagai pembasmi hama. Ketika itu, belahan dunia tengah sibuk pada pengembalian stabilitas ekonomi pasca Perang Dunia, sehingga isu lingkungan yang sebenarnya juga krusial, belum dipandang penting dan perlu diprioritaskan oleh negara-negara.
Studi lingkungan terus berkembang
seiring terasanya dampak-dampak negatif dan kerusakan lingkungan yang sebabkan
oleh aktivitas manusia. Studi lingkungan pun masuk dalam bahasan HI setelah adanya
perluasan unit analisa HI yang disebabkan oleh great debate antara
positivisme dan post-positivisme. Hal ini tentunya juga didukung oleh fakta
bahwa isu lingkungan dan dampak yang timbul tidak hanya dirasakan oleh wilayah
lokal dalam suatu negara semata, namun berpengaruh secara global.
Munculnya green theory membawa buah
pemikiran baru dalam mengkritik konsep antroposentris. Eckersley berpendapat
bahwa analisis yang selama ini ada dalam HI hanyalah berpusat pada
kesejahteraan dan nilai moral manusia semata. Padahal masih ada makhluk hidup
lain yang juga memiliki hak atas kehidupan. Konsep baru ini disebut
ekosentrisme, yang mana mengikutsertakan ekosistem dan semua makhluk hidup
dalam perumusannya. Ekosentrisme meyakini bahwa ontologi dunia bukanlah tentang
entitas individu, melainkan sebuah interelasi. Dengan ini, tidak ada
standarisasi yang mampu membedakan manusia dan bukan-manusia.
Menurut Eckersley, ada empat ciri
utama ekosentrisme. Yang pertama adalah mengidentifikasi segala kepentingan
manusia terhadap makhluk lainnya. Yang kedua adalah mengidentifikasi adanya
penghuni lain selain manusia. Yang ketiga adalah mengidentifikasi adanya
kepentingan generasi selanjutnya, baik masa depan manusia mapun masa depan
makhluk lainnya. Yang terakhir adalah menerapkan perspertif holistik dibanding
atomistik. Ekosenterisme juga mengarahkan lingkungan menjadi objek untuk
dilindungi, dan bukannya untuk dieksploitasi.
Menurut pemikir green theory,
tantangan terbesar ekosentrisme adalah adanya inovai-inovasi ilmu pengetahuan
yang membawa manusia pada teknologi dan modernisasi. Tidak bisa dipungkiri
bahwa adanya modernisme, sejak awal telah membawa dampak buruk pada lingkungan.
Kecenderungan manusia yang memilih pengiritan ongkos produksi dan penyederhaan
alat membawa mereka untuk menciptakan hal baru yang lebih instan dan praktis.
Namun hal ini malah mengabaikan dampak lingkungan sehingga menimbulkan kritik. Protes
akan modernisme ini kemudian mengarah pada klaim yang menganggap bahwa
ekosentrisme berupaya untuk mengurangi populasi manusia dan menghalangi upaya-upaya
globalisasi.
Gagasan green theory yang kedua
adalah batas-batas pertumbuhan (the limits to growth). Konsep ini
menguraikan tentang kenyataan bahwa alam tidak dapat tumbuh sebagaimana
manusia. Populasi manusia akan terus bertambah dari waktu ke waktu, namun tanah
yang disediakan bumi tidak akan melipat ganda karenanya. Dengan adanya tingkat
pertumbuhan yang pesat ini, diprediksi bahwa apa yang sebenarnya telah disimpan
alam untuk generasi mendatang akan menipis jika eksploitasi bumi dilakukan
terus-menerus secara brutal tanpa berpikir panjang terkait dampaknya. Lalu bumi
akan mengalami degradasi sebelum 2100.
Memang telah lahir banyak
penyangkalan terkait ramalan di atas. Namun green theory tetap menegaskan urgensinya
melalui tiga argumentasi. Yang pertama adalah bahwa teknologi hanya mampu
menunda krisis yang ada, bukan mencegahnya terjadi. Yang kedua adalah
peningkatan pertumbuhan menyebabkan bencana yang pada dasarnya masih lama,
mengalami percepatan dan sangat memungkinkan untuk terjadi secara tiba-tiba.
Yang ketiga adalah persoalan yang terhubung pada pertumbuhan menciptakan
interrelasi. Sebagai solusi dari the limits to growth, para environmentalisme mengusung adanya
pembangunan berkelanjutan.
Untuk mengefektifkan pembangunan
berkelanjutan, tentunya diperlukan adanya stabilisasi pada negara-negara
industri dengan diberlakukannya pematokkan produksi dan eksploitasi. Namun pada
implementasinya, ekonomi negara menjadi dilema besar yang sulit direlakan demi
kepentingan lingkungan. Negara-negara tertentu terlalu besar atau terlalu kecil
untuk mampu menghadapi pembangunan berkelanjutan, sehingga diperlukan struktur
regional dan global yang baru. Green theory lalu mengusut desentralisasi
sebagai bentuk optimalisasi peran komunitas lokal untuk lingkungan karena tidak
mampu berharap banyak pada negara.
Anggapan bahwa kerjasama dengan unit sosial yang lebih besar cakupannya akan mempersulit tercapainya tujuan dibenarkan jika direfleksikan pada negara-negara. Pemikiran-pemikiran yang disajikan green theory, sedikit banyak memiliki pengaruh namun masih minim dalam implementasinya. Hal ini tentu saja dipengaruhi dengan berbagai pertimbangan. Dampak dari kerusakan lingkungan adalah sesuatu yang dirasakan secara global. Sehingga sebagian besar negara, sebagaimana perannya sebagai aktor rasional dalam HI, tidak mau menanggung ‘beban perawatan’ lingkungan dalam angka yang lebih besar.
Produk-produk dan peralatan industri ramah lingkungan bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan murah. Belum ada negara yang mau mengorbankan ekonominya, untuk fokus dalam pelestarian lingkungan. Inilah yang menjadi PR terbesar para pemikir green theory, dalam menawarkan solusi alternatif yang mana antara ekonomi dan lingkungan, keduanya dapat terolah dengan baik. Tidak ada tumpang tindih di antara keduanya
Ditulis di Bekasi, 5 April 2020
Komentar
Posting Komentar